-
Danny Drinkwater Sindir Frank Lampard di Instagram?
53 menit lalu -
Kalita Hadirkan Peralatan Kopi Edisi Spesial Ghibli!
57 menit lalu -
Asnawi Mangkualam Resmi Jadi Pemain Ansan Greeners Sejak Pekan Lalu
40 menit lalu -
Orang Dewasa Lebih Sering Depresi Selama Lockdown Pandemi Covid-19
55 menit lalu -
Balas Ejekan, Fans MU Olok-olok Pelatih Liverpool di Medsos
54 menit lalu -
Kisah Kediaman Wakil Presiden AS yang Akan Ditempati Kamala Harris
51 menit lalu -
Evolusi Gim Jadul di Ponsel Hingga Lahirnya Ponsel Gaming
59 menit lalu -
Perjuangan Lawan Covid-19 Belum Berakhir, Menko Airlangga: Atur Gas dan Rem
45 menit lalu -
KKP Terima Hibah Tanah dan Bangunan dari Pemkab Lombok Utara
54 menit lalu -
Tarif Batas Bawah Maskapai Perlu Dievaluasi
51 menit lalu -
AFC Resmi Batalkan 4 Turnamen di 2021, Termasuk Piala AFC U-19 dan U-16
44 menit lalu -
Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi RI di 2020 Lebih Baik dari Negara G20 dan ASEAN
34 menit lalu
0
Cegah Grubug Agung Tahun 1955 Terulang

Ritual ini digelar mengingat masyarakat pernah mengalami grubug agung atau maha wabah penyakit tahun 1955 hingga 1.500an warga meninggal. Pacaruan menggunakan sarana Bebek Ireng (hitam).
Prosesi dipuput Ida Pedanda Sunia dari Griya Sunia Manuaba, Desa Tampaksiring. Undangan dibatasi, hanya beberapa pamangku, tokoh puri, tokoh desa adat dan dinas di wawidangan Tampaksiring.
Penggagas prosesi Caru Ruwat Bumi, Ida Bagus Made Bhaskara, Rabu (25/11), menjelaskan pacaruan ini digelar atas sinergi Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Desa Dinas dan Desa Adat setempat. Pacaruan ini digelar mengingat masyarakat setempat pernah melewati pengalaman grubug agung tahun 1955. Wabah penyakit ini mengakibatkan 1.500an warga meninggal. "Wabah penyakitnya yakni muntah dan berak. Kamatian massal ini sampai membuat kuburan baru, sehingga di Desa Tampaksiring kini memiliki dua kuburan," jelasnya.
Wabah itu membuat warga yang putus asa. Akhirnya para tokoh adat menggelar prosesi nedunang sasuhunan (menurunkan pralingga Ida Bhatara,Red) dengan nama ngerebeg. "Setelah itu, tidak sampai satu minggu muntah dan berak yang dialami warga sudah pada sembuh. Kami harapkan Caru Ruwat Bumi ini mampu memulihkan kondisi yang terdampak pandemi Covid-19,'' ujar IB Made Bhaskara, mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan Agama di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar ini.
Prosesi Caru Ruwat Bumi digelar pukul 16.00 Wita - 18.00 Wita. Diawali dengan nuwur tirta dari pura di wawidangan Tampaksiring. "Karena pandemi, tidak mungkin kami nedunang semua sasuhunan ke Bencingah. Makanya kami nuwur tirta saja, untuk dipercikkan ke seluruh wilayah Tampaksiring dan dimohon warga," sambungnya.
Jelas IB Made Bhaskara, Caru Ruwat ini juga memiliki simbol dan menjadi sumber perwujudan barong dan rangda. Jadi Durga seperti rangda, Kala Maya barong. Semua itu bagian dari kesemestaan. Ada pula pustaka Genta Ki Gebug Lantang. Senjata ini terbuat dari keroncongan sapi untuk memanggil kekuatan halus, bhuta, samar, gamang, termasuk penyakit. "Dalam fragmen sakral terdapat juga ada Sang Hyang Jaran. Sang Hyang Jaran warisan kuno di Tampaksiring, sering dibawakan untuk mengusir wabah. Fragmen ditarikan oleh sisya pasraman," imbuh Bhaskara. *nvi
Prosesi dipuput Ida Pedanda Sunia dari Griya Sunia Manuaba, Desa Tampaksiring. Undangan dibatasi, hanya beberapa pamangku, tokoh puri, tokoh desa adat dan dinas di wawidangan Tampaksiring.
Penggagas prosesi Caru Ruwat Bumi, Ida Bagus Made Bhaskara, Rabu (25/11), menjelaskan pacaruan ini digelar atas sinergi Pasraman Dharmasila Tampaksiring, Desa Dinas dan Desa Adat setempat. Pacaruan ini digelar mengingat masyarakat setempat pernah melewati pengalaman grubug agung tahun 1955. Wabah penyakit ini mengakibatkan 1.500an warga meninggal. "Wabah penyakitnya yakni muntah dan berak. Kamatian massal ini sampai membuat kuburan baru, sehingga di Desa Tampaksiring kini memiliki dua kuburan," jelasnya.
Wabah itu membuat warga yang putus asa. Akhirnya para tokoh adat menggelar prosesi nedunang sasuhunan (menurunkan pralingga Ida Bhatara,Red) dengan nama ngerebeg. "Setelah itu, tidak sampai satu minggu muntah dan berak yang dialami warga sudah pada sembuh. Kami harapkan Caru Ruwat Bumi ini mampu memulihkan kondisi yang terdampak pandemi Covid-19,'' ujar IB Made Bhaskara, mahasiswa Program Doktor (S3) Pendidikan Agama di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar ini.
Prosesi Caru Ruwat Bumi digelar pukul 16.00 Wita - 18.00 Wita. Diawali dengan nuwur tirta dari pura di wawidangan Tampaksiring. "Karena pandemi, tidak mungkin kami nedunang semua sasuhunan ke Bencingah. Makanya kami nuwur tirta saja, untuk dipercikkan ke seluruh wilayah Tampaksiring dan dimohon warga," sambungnya.
Jelas IB Made Bhaskara, Caru Ruwat ini juga memiliki simbol dan menjadi sumber perwujudan barong dan rangda. Jadi Durga seperti rangda, Kala Maya barong. Semua itu bagian dari kesemestaan. Ada pula pustaka Genta Ki Gebug Lantang. Senjata ini terbuat dari keroncongan sapi untuk memanggil kekuatan halus, bhuta, samar, gamang, termasuk penyakit. "Dalam fragmen sakral terdapat juga ada Sang Hyang Jaran. Sang Hyang Jaran warisan kuno di Tampaksiring, sering dibawakan untuk mengusir wabah. Fragmen ditarikan oleh sisya pasraman," imbuh Bhaskara. *nvi
Sumber: Nusabali
Berita Terkait
Berita Populer Dari Nusabali