-
Catat! Jadwal KRL Jogja-Solo Hari Ini, Sabtu 10 Juni 2023
42 menit lalu -
PVMBG: Gunung Anak Krakatau Erupsi Setinggi 2.000 Meter
55 menit lalu -
Prediksi Final Liga Champions Manchester City vs Inter Milan
49 menit lalu -
Bali United Jaga Percaya Diri
58 menit lalu -
Perindo Merapat ke PDI Perjuangan
43 menit lalu -
Memasuki Musim Liburan Panjang, Okupansi Hotel dan Vila Stabil
54 menit lalu -
Perusahaan-Perusahaan Besar Ini Berkolaborasi dalam Gerakan Memilah & Mendaur Ulang Sampah
42 menit lalu -
PPP Kaget dengan Religiositas Sandiaga, Cocok Jadi Cawapres Ganjar
41 menit lalu -
Josep Guardiola Bakal Turunkan Tim Terkuat di Laga Manchester City vs Inter Milan demi Bisa Jadi Raja Eropa
39 menit lalu -
9 Pendekar Keroyok Pemuda di Surabaya Gegara Ucapkan Salam Perguruan Silat
25 menit lalu -
Sukarelawan Purnawirawan TNI-Polri Deklarasi Dukung Ganjar, Lihat Suasananya
20 menit lalu -
Kabar Terkini Kasus Penembakan di Konser Dangdut Gunungkidul
27 menit lalu
Amanat Konstitusi sebagai Acuan Soccer Diplomacy

POLEMIK tentang rencana kehadiran kesebelasan U-20 Israel di Indonesia ternyata bergulir di masyarakat satu bulan menjelang peringatan 68 tahun Konferensi Asia-Afrika. Untuk menyikapi hal itu, coba kita membuka lembaran sejarah tentang rentetan peristiwa menjelang KAA Bandung, 18-24 April 1955.
Waktu itu Menteri Luar Negeri India, Burma (kini Myanmar) dan Sri Lanka mengusulkan kepada Menlu Sunario agar Israel diundang ke KAA Bandung. Tapi ketika Sunario melaporkan usulan tersebut, Presiden Soekarno dengan tegas menolaknya.
Soekarno katakan, "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itu pula bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel."
Tiga tahun setelah itu, pada 12 Mei 1958, Ramang Makassar, mencetak dua gol ke gawang kesebelasan RRT pada menit ke-47 dan dengan tendangan salto di menit ke-78, dalam pertandingan di Lapangan Ikada (kawasan Monas) yang dipadati 80.000 penonton. Bendera Merah Putih bertaburan di stadiun itu, Sorak-Sorak Bergembira karya Cornel Simanjuntak membahana di udara, bahkan di jalan-jalan raya di Jakarta, dan seantero Nusantara bertempik sorak.
Kemenangan yang diberitakan di seluruh dunia itu menyisakan satu babak lagi dalam kualifikasi regional dimana Tim Garuda (nama PSSI waktu itu) ditempatkan satu grup dengan Sudan, Mesir, dan Israel. Lolos dari babak tersebut maka Tim Garuda akan terbang ke fase akhir Piala Dunia yang akan diadakan di Stockholm, Swedia.
Tapi gegap-gempitanya kegembiraan rakyat Indonesia ketika itu tak membuat Presiden Soekarno mengubah sikap. Soekarno secara tegas melarang Indonesia bertanding satu grup dengan Israel. Sebab "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Kalau disuruh memilih antara Indonesia mendapat peluang emas bertanding di World Cup dan berpeluang membawa pulang piala berlapis emas 18 karat seberat 6,17 kilogram itu, ataukah Indonesia konsisten membela bangsa yang terjajah, maka Soekarno pasti memilih opsi kedua.
Kalau didesak, mungkin Soekarno akan katakan, Go to hell with your trophy. Bukan karena negeri ini tak kekurangan emas, tapi penderitaan bangsa Indonesia yang dijajah berabad-abad jauh lebih besar dari kebanggaan sesaat mendekap Piala Dunia yang hanya bertahan empat tahun.
Itulah sikap resmi pemerintah Indonesia sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Dan sikap seperti itu juga yang kurang tegas diperlihatkan oleh pemerintah kita saat ini, ketika kesebelasan U-20 Israel, sesuai agenda FIFA, direncanakan akan dihadirkan dalam babak kualifikasi enam group World Cup pada 20 Mei-11 Juni 2023.
Kurang jelas ketegasan dalam pernyataan sikap dari Pejambon. Sikap politik luar negeri Indonesia tak boleh dikesankan seolah-olah tersandera oleh aturan teknis sebuah federasi sepak bola. Sebab politik luar negeri jauh lebih luas cakupannya ketimbang urusan sepak bola. Dan meskipun aturan teknis pertandingan bisa disesuaikan, tapi amanat konstitusi tak boleh dikompromikan.
Kurang elok apabila dikesankan seolah-olah kedaulatan negara harus tunduk pada aturan sebuah federasi olahraga, meskipun alasannya adalah jadwal World Cup diatur oleh FIFA dan bahwa keikutsertaan tim sepakbola Israel tak mempengaruhi sikap pemerintah yang konsisten mendukung Palestina. Sebab narasi yang kurang elok dapat memunculkan ambiguitas dalam berdiplomasi dan tak menunjukkan kecanggihan diplomasi kita.
Ketidaktegasan sikap yang dimunculkan itu tak konsisten dengan Peraturan Menteri Luar Negeri sendiri, yaitu Permenlu Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, yang secara tegas melarang pengibaran bendera Israel di wilayah NKRI. Juga melarang lagu kebangsaan Hatikva dinyanyikan di Indonesia.
Qatar tak sebesar Indonesia dan secara pertimbangan geostrategis pun tak sekuat posisi dan kapasitas Indonesia. Tapi negara kecil itu berani memboikot negara sekuat Rusia dalam turnamen World Cup 2022. Karena ia konsisten sebagai negara berdaulat yang lebih mengutamakan kepentingan dalam negerinya ketimbang tekanan dari negara besar mana pun.
Yang perlu diupayakan adalah bukan mengutak-atik aspek teknis pertandingan agar tim Israel tetap bisa bertanding tanpa adanya kesan pengakuan terhadap negara tersebut. Bukan di situ masalahnya. Itu salah fokus.
Yang perlu dilakukan adalah menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara berdaulat yang tak mau didikte oleh negara lain atau pun federasi olahraga mana pun. Bukankah politik luar negeri Indonesia tunduk pada konstitusi dan diabdikan untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional?
Benar bahwa rencana kedatangan tim U-20 Israel itu bukan atas undangan pemerintah Indonesia melainkan atas pengaturan FIFA. Tetapi sebagai tuan rumah, Indonesia berhak mengatakan kepada FIFA bahwa kehadiran Israel bukan hanya merupakan urusan olahraga, tetapi juga urusan penyimpangan terhadap konstitusi sehingga tak bisa dikompromikan.